Thursday, March 26, 2009

Kerja yang Membahagiakan

Mengapa pencapaian prestasi kerja sering tidak sejalan dengan pencapaian kebahagiaan?

Pagi itu, Selasa (15/05/07), dalam perjalanan taksi dari tempat tinggal saya di BSD City-Serpong menuju Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, saya menemukan pelajaran berharga: Jika prestasi dan kesuksesan dapat memberikan kesenangan, itu sudah biasa. Tetapi, betapapun posisi dan pencapaian yang diperoleh dari bekerja juga sering tidak sejalan dengan 'pencapaian kebahagian'.

Kehidupan Jakarta yang menjanjikan sejuta mimpi indah, di sisi lain juga melahirkan kenyataan bagaimana kerasnya hidup di kota multi etnik ini. Namun hal itu bukan halangan bagi pria satu ini.

Namanya Ismail Latif. Umurnya sekitar 40 tahun. Pria asal Garut, Jawa Barat, ini menikahi seorang wanita satu kampung halaman. Memiliki dua anak. Tinggal di kawasan Jelupang, Serpong, Tangerang.

Berlatar pendidikan setingkat SMA ia terima dengan lapang pekerjaan sebagai vallet parking di sebuah klub malam. Ia jalani pekerjaan itu sepenuh hati. Mengisi malam demi malam dengan memarkirkan mobil para tamu.

Sejak 1994 ia telah berpindah tempat kerja dari satu klub ke klub malam lain. Mulai dari M Club di Blok M Plaza hingga yang terakhir, sebuah klub malam di Kuningan, Jakarta.

Ketekunan dan kejujurannya dalam bekerja menjadikan Ismail disukai oleh bos. Maka, naiklah jabatanya sebagai bartender.Ia tidak lagi berada di halaman parkir, tetapi masuk di dalam. Tentu saja ia kemudian memperoleh pelatihan sebagai bartender. Rupanya, ia tipe pria yang mampu belajar cepat dan disukai para tamu.

Seiring dengan posisi barunya, penghasilan Ismail melonjak. Selain gaji bulanan yang jauh lebih tinggi dari petugas parkir, juga pemasukan lain-lain seperti tips dan uang terima kasih lainnya. Dari semua itu, jika ditotal rata-rata Ismail dapat membawa pulang Rp 4 juta setiap bulannya. Tapi di sinilah awal masalah dimulai.

Kehidupan keluarga yang tadinya harmonis mulai terganggu, meskipun tidak hancur bubar. Berbagai godaan menantang di depan mata. Alhasil, penghasilannya yang menurut level ekonomi keluarganya sudah tinggi itu, malah hilang tak berbekas. Ismail telah tenggelam dalam nikmatnya kesenangan dunia malam. Ya uang, ya kesenangan. Hingga suatu masa, diam-diam jiwanya merasa tidak bahagia dan menderita.

"Saya mulai berfikir untuk apa saya bekerja. Saya pulang menjelang pagi dan tidak pernah tahu kapan anak saya berangkat sekolah. Dan suatu ketika, saat saya sedang siap-siap berangkat bekerja di sore itu, anak saya sedang belajar mengaji. Hati saya hancur..!", kenangnya.

Singkat kata Ismail memutuskan berhenti sebagai "Pekerja Tetap". Tepatnya di tahun 2003.

"Saya merasa terlalu lama untuk bisa sadar. Banyak uang setan yang selama ini saya terima dari tempat kerja itu. Tidak berkah. Hasil kerja saya tidak menghasilkan apa-apa buat keluarga saya", ia menarik napas dan terdiam sesaat.

"Tapi saya menikmati pekerjaan saya bawa taksi ini Pak. Meskipun tidak tetap tapi saya menyukainya," lanjutnya.

Ismail kini memang bekerja sebagai sopir taksi berlabel Mitra18. Baru satu setengah bulan saja dia mulai pekerjaan itu sejak 31 Maret 2007.

"Lalu setelah keluar dari pekerjaan di tahun 2003 itu kerja apa Pak?" Ia membuka warung mie ayam dan minuman es kelapa.

Dari situlah kehidupan keluarga Ismail terus berjalan. "Meski tidak sebesar yang saya peroleh dulu, dari usaha ini saya bisa membayar cicilan kontrakan dan lain-lainnya," ujarnya sumringah.
Warung mie ayamnya sudah bisa ditangani sendiri oleh istrinya. Maka, menjadi sopir taksi itu adalah salah satu kegiatan baru yang ia lakoni.

Setelah empat tahun usaha mie ayam yang dikerjakan bersama istrinya itu, Ismail berpikir untuk mengembangkan usahanya di tempat baru. Tapi masih terbentur modal yang masih belum cukup. Tapi dia yakin usahanya ini tetap akan berjalan dan terus ia tekuni.

Read More...

Friday, March 13, 2009

Musyawarah Tikus

Komunitas tikus geger. Mereka resah dan was-was karena habitat mereka terancam punah.

Seorang ustadz membuka kelas di sore itu dengan mimik serius. Para murid jadi bertanya-tanya. Tidak biasanya sang ustadz yang bersahaja dan banyak senyum itu mengawali pelajarannya dengan sikap seperti itu. Ustadz Sholeh selalu mengawali dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pertemuan sebelumnya.

Kali ini tidak. Para santri yang sudah siap kalau-kalau diminta maju ke depan atau menjawab pertanyaan merasa ada yang janggal.
“Masyarakat tikus sedang dilanda malapetaka...!“

Ahmad, bocah berpostur kurus asal Madiun yang duduk di bangku paling depan itu penasaran.

“Maaf Ustadz, apakah itu ada hubungannya dengan berita tentang tikus di tivi tempo hari ?”, tanyanya spontan.

“Huuuu…”
Dasar anak-anak. Mereka suka menyela komentar temannya.

“Hmm… memang itu ramai dibicarakan di tivi dan koran, dan katanya bikin susah para penjual bakso dan mie ayam. Dagangan mereka ndak laku karena orang jadi jijik, juga takut karena katanya ada ….? ”.

Ucapan ustadz itu terpotong.

“Formalin, Ustdaz !” Celetuk Akbar, anak pengusaha batik asal Solo itu.

“Aiwakh, anta shahiih“. Okey kamu benar.

Suasana kelas menghangat. Para santri begitu ingin tahu berita di luar tembok pesantren mereka.

“Tetapi, sebetulnya bukan soal ulah media yang meniupkan isu tikus-tikus got itu saja yang ternyata membuat sengsara ribuan atau bahkan mungkin jutaan rakyat kecil,” kata sang guru.
Pria setengah baya itu buru-buru melanjukan kalimatnya sebelum muncul pertanyaan dari murid-muridnya yang kritis.

“Dan, sebelum kalian mengerti maksud penjelasan saya, kita lanjutkan pelajaran kita”.
Santri-santri itu hanya menggerutu dalam hati. Suasana yang tadinya hangat menjadi dingin. Tapi apa boleh buat. Perintah ustadz harus diikuti dengan sikap sami’na wa-atho’na – didengar dan ditaati.

Kembali mereka bertanya-tanya, “wah siapa nih yang akan ditunjuk maju ke depan ?”
Sejurus kemudian guru asal Boyolali itu mengeluarkan sebuah buku agak kusam. Dibukalah isinya. Lalu dengan lantang dan nyaring ia bersuara.

Isma’uu… wa’uuu…!” Dengarkan dan perhatikan baik-baik.

Demikian ujar Ustadz dalam bahasa Arab dengan lafal yang sangat fasih.

Ustadz Sholeh menghela napas. Ia pun segera memulai bacaannya dan para santri sudah siap mendengarkan dengan seksama sambil melihat guru mereka memegang kitab “Qiroo’ah Ar-Roosyidah” di tangan kanan. Buku yang memuat khazanah klasik. Berisi bermacam kisah, legenda, atau semacam dongeng.

“Anak-anakku sekalian inilah yang akan kusampaikan”.

Alkisah, menurut sahibul hikayat, sebuah masyarakat tikus sedang dilanda krisis. Populasi mereka kian berkurang setiap hari. Mereka banyak yang tertangkap dan mati. Mereka resah, galau, cemas dan stress karena habitat terancam punah.

“Wah.. banyak diburu tukang bakso ya…?”.

“Dengarkan ustadz sampai selesai. Jangan menyela!” sang ustadz mendelik ke arah Akbar bocah bertubuh subur itu.

Santri pun kembali menyimak bacaan. Tapi kali ini ustadz duduk di kursinya dan menyodorkan buku kepada santri secara bergantian untuk membaca dengan suara keras di depan kelas.
Bacaan dilanjutkan.

Menyadari kepunahan populasi yang drastis, para tokoh tikus dari berbagai wilayah akhirnya berkumpul. Mereka berdiskusi untuk membicarakan strategi demi kelangsungan hidup mereka. Tidak hanya kelangsungan pangan serta akses terhadap lumbung-lumbung yang selama ini mereka satroni. Tetapi juga kelangsungan hidup dan martabat generasi mereka.

Tidak tanggung-tanggung. Para tikus besar yang selama ini dikenal kuat dan sakti sehingga membuat keder para kucing serta sukses mengendus pusat-pusat pangan pun akhirnya berkumpul. Tentu mereka berkumpul di tempat khusus yang hanya para tokoh tikus saja boleh masuk. Di luar ruangan terdapat sejumlah pasukan penjaga tikus yang awas dan sigap bila terjadi sesuatu yang mencurigakan.

“Baiklah saudara-saudaraku. Berpuluh-puluh tahun bahkan berabad-abad, kita telah berhasil mengelabuhi para penjaga lumbung-lumbung makanan sebagai sumber kemakmuran kita. Tapi apa yang kita lihat sekarang? Banyak saudara-saudara kita yang tertangkap. Lorong-lorong rahasia kita banyak yang terbongkar. Karena itu saatnya kita menyusun strategi baru”. Demikian sang tokoh tikus yang sangat disegani itu membuka rapat.

“Betul tuanku. Tetapi memang situasi sekarang sangat genting. Bagaimana kalau kita tiarap dulu, sambil mengamankan aset-aset kita bagi anak cucu?” salah satu tikus berpendapat.

“Rasanya itu bukan solusi. Karena lambat-laun lorong persembunyian kita juga pasti kebongkar”, yang lain menimpali.

Musyawarah para tikus itu semakin panas. Sudah biasa dalam setiap diskusi atau pun rapat banyak sekali gagasan atau ide-ide bermunculan.

Datanglah sesosok tikus berbulu putih berdiri. Postur tubuhnya sedang dan berpenampilan kalem.

“Saudara-saudara sekalian. Situasi sekarang ini disebabkan tak lain karena adanya penjaga kekuasaan lumbung yang sangat galak dan ditakuti. Lebih dari itu dia tidak doyan lagi suap apalagi kita kelabuhi”.

“Hemm... teruskan !” sang pemimpin menyimak serius.

“Jadi perlu ada mekanisme allert, tanda rahasia khusus, sehingga kita semua bisa waspada dan hanya kita saja yang mengerti”, sang tikus itu bersemangat.

“Lalu apa bentuknya ? ” tikus lain bertanya.

“Kita tidak perlu lagi menyuap mereka. Toh para kucing itu sekarang sedang masanya jual mahal, sudah nggak doyan lagi makanan kita. Apalagi makanan murahan”.
Sang tikus memandang seluruh ruangan mencoba melihat reaksi para sahabatnya. Lantas diapun melanjutkan.

“Caranya, kita ikatkan saja kelinting di leher pemimpin para kucing yang galak itu. Maka setiap kali dia bergerak yang diikuti anak buahnya, kelinting akan berbunyi. Kemanapun arah para kucing itu kita akan tahu”, urainya dengan bangga.

“Wah.. ide anda sangat brilian saudara.” Timpal tikus berwarna loreng kecoklatan.
Para hadirin mengangguk-angguk tanda kagum. Yang lain mengepalkan tangan penuh semangat. Sementara di pojok belakang bersorak. Namun tak lama muncul tikus hitam berbulu kaku seperti landak berdiri sambil menggebrak meja. Suasana gaduh jadi hening sejenak.

“Ada masalah yang lebih penting dari ide tersebut”, timpalnya. Tikus ini selain dikenal agresif juga sangat cerdas. Lalu dia melanjutkan kalimatnya.

“Persoalannya adalah ….. Siapa yang berani mengalungkan kelinting itu ?”.

Kini suasana jadi tegang. Para tikus diam. Tidak ada yang bersuara. Masing-masing berpikir dan mununggu kalau-kalau ada yang bisa memberi solusi dari pertanyaan tersebut. Atau barangkali ada seorang tikus yang bersedia mengorbankan diri mengikat kelinting di leher kucing nan galak dan ganas itu.

***

Para santri manggut-manggut. Sementara Ustadz Sholeh memandang wajah para muridnya dengan puas. Mereka begitu antusias.
Man Yu’alliqul Jaros ?” Siapa yang berani mengikatkan kelinting (lonceng)?

Sang guru kembali mengutip judul kisah yang baru saja disimak para muridnya.

“Nah silakan cari jawabannya dan kita bahas pekan depan. Baca berita-berita di koran yang ditempel di papan depan aula”.

Memang di pesantren itu, hanya ada satu koran yang tiap hari dipajang di papan supaya dapat dibaca semua santri sambil berdiri.

Sang guru yang arif itu pun beranjak keluar kelas setelah menutup dengan salam tak lama setelah bel sekolah berdering.

Papan koran yang biasanya tidak begitu menarik, dan hanya satu dua santri senior saja yang baca, sejak sore itu penuh para santri. Mereka membaca judul-judul besar di halaman depan koran itu.

“Seorang jenderal polisi terlibat pembobolan bank”.
“Empat pejabat pajak ditangkap selewengkan Rp 105 miliar uang negara”.
“Mantan menteri tersangkut dana abadi umat”.
“Pengusaha rugikan uang negara 5 triliun”.
“Jaksa terima suap 600 ribu dollar”.
“Seorang anggota DPR ditangkap di hotel berbintang lima”.
“Seorang menteri terlibat suap hutan lindung”.
“Rumah ketua KPK diancam bom”.
“Lagi, empat anggota DPR ditangkap KPK”.

Mereka membaca kalimat-kalimat berita itu dengan polos, tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di balik berita itu. Mereka hanya paham kata-kata ditangkap, ditahan, korupsi, penyelewengan, pencurian uang negara, dan sebagainya. Suatu permasalahan pelik di luar jangkauan pengetahuan mereka.

“Hai.. kholas. Sudah… sudah sebentar lagi maghrib !” seorang santri senior tiba-tiba datang menghardik.

Merekapun buyar.

Tetapi pelajaran sore itu begitu berkesan. Ada satu pertanyaan yang tertinggal: Akankah para tikus itu benar-benar berani dan berhasil mengalungkan kelinting ?

Hanya waktu yang bisa menjawab. Read More...

Monday, March 9, 2009

Lautan Biru

Bila dunia sudah demikian saling bersaing hingga berdarah-darah, kini saatnya menciptakan situasi yang berbeda. Mari bangun atmosfir lautan biru.

Pertemuan WIEF (World Islamic Economic Forum) ke 5 yang diselenggarakan di Jakarta (2-3 Maret 2009), telah berlalu. Pertemuan itu tentu menjadi semacam “pesta akbar” dan penghiburan bagi para pelaku, pemerhati, serta “pejuang” ekonomi syariah di negeri ini.

Konferensi ini dihadiri oleh sekitar 700 peserta dari beberapa negara. Sejumlah pemimpin negara seperti PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, dan PM Maroko Abbas al Fasi ikut hadir dalam acara ini.

Sebagaimana diketahui, WIEF adalah prakarsa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PM Malaysia Abdullah Badawi, PM Pakistan Syaukat Aziz, serta Crown Prince and Deputy Ruler Ras al Khaimah Emirate Sheikh Saud bin Saqr al Qasimi pada tahun 2005 lalu.

Pada pertemuan ini juga dilangsungkan Memorandum of Agreements (MoA) antara pemerintah Ras Al Khaimah Emirate dengan provinsi Kalimantan Timur; ETA Star Dubai, Itochu Corporation Jepang dengan PT Pertamina; PT Garuda Indonesia dengan Dubai Aerospace Enterprises; serta Bank Muamalat Indonesia dengan The National Commercial Bank Saudi Arabia, Islamic Payments System Sdn Berhad Malaysia dan PT Pos Indonesia.

Forum ini melahirkan sebuah kesepakatan bersama antar negara Islam yang disebut sebagai Deklarasi Jakarta. Salah satu rekomendasinya adalah upaya bersama-sama untuk mengatasi krisis global. (Kompas, 4 Maret 2009)

Saya tidaklah memiliki kapasitas yang memadai untuk “ikutan” membicarakan isu-isu yang dibahas dalam forum tersebut. Namun, satu hal yang tentu boleh ikut “merasakan”: gaung WIEF menunjukkan gerakan ekonomi syariah semakin memiliki aseptansi yang baik setelah hampir dua dasawarsa sejak lahirnya Bank Muamalat pada 1990. Ekonomi syariah yang tadinya bagai makhluk planet aneh, bahkan bagi umumnya umat Islam sendiri, kini mulai menjejak bumi.

Jika dibaca semangatnya, semua sepakat menyatukan visi dan langkah mengatasi persoalan yang dihadapi semua negara. Dalam tataran konsep ekonomi syariah, inilah yang dimaksud “musyarakah” dalam arti luas.

Secara harafiah, musyarokah memiliki pengertian kebersamaan, kerjasama, aliansi, sinergi atau kata lain yang mengacu kepada penyatuan dua atau beberapa entitas yang berbeda untuk mencapai tujuan dan kebaikan bersama.

Jika memang yang dimau WIEF benar-benar terwujud dalam pelaksanaan selanjutnya, berarti mereka memang ingin menciptakan atmosfir baru dalam tata hubungan ekonomi internasional mereka.

Saya jadi teringat buku “Blue Ocean Strategy”, 2005, yang monumental itu. Sebuah konsep melawan arus dari pemahaman dunia selama ini yang mengagungkan persaingan demi persaingan, bahkan perang dalam ekonomi maupun bisnis.

W. Chan Kim dan Renee Mauborgne mengenalkan konsep “Lautan Biru” itu dengan memberi nasehat:” … untuk berjaya di masa depan, perusahaan harus berhenti bersaing satu sama lain”.

Maka, ijinkanlah saya mempadankan diskursus “Lautan Biru” itu dengan konsep musyarakah dalam ekonomi syariah. Walaupun sejatinya, secara konsepsi, musyarokah sudah mengakar jauh sejak 1.400 tahun lalu sebelum buku terbitan Harvard Business School itu terbit.

Bagi siapapun Anda para intelektual dan ekonom syariah, tentu tidak perlu gusar. Bila konsepsi yang diagungkan bernama musyarokah itu, dalam tataran praksis, uraiannya ternyata begitu gamblang di-jelentrehkan oleh orang lain.
________________________
KETERANGAN FOTO: Sebuah kapal tengah merapat di pelabuhan Batam. Tampak jauh dibelakangnya, bangunan-bangunan tinggi kota Singapura.
Read More...

Friday, March 6, 2009

Password Menuju Langit

Kemanapun sejauh Anda pergi, pada suatu titik akan kembali lagi pada awal mula di mana Anda memulai.

Bismillah... Saya mengawali tulisan-tulisan dalam blog ini dengan kalimah thoyyibah itu. Dia bukan hanya menjadi kalimat sakti bagi setiap orang yang mengerjakan sesuatu. Tetapi juga akan menjadi semacam password yang mengkoneksikan tindakan kita ke langit. Kepada pemilik singgasana jagad raya yang maha ulya.

Jujur, setua ini, di ambang usia kepala empat, baru-baru ini saja saya memahami makna basmalah, yang sudah melekat di luar kepala. Sejak diajarkan oleh ayah saya ketika sambil menimang-nimang saya atau menunggui saya sebelum tidur sambil saya pegang sarung beliau, supaya beliau tidak pergi dari sisi saya.
Saat itu, pria bernama Ahmad Dimyati, akan memandu kalimat syahadat yang dimulai dengan basmalah itu. Dan dalam perjalanan umur, menembus waktu, masa, serta pergolakan keingingan-keinginan manusiawi, pemahaman saya akan basmalah hanya berhenti pada pemahaman ritus semata. Bahwa "segala sesuatu akan menjadi nista dan sia-sia bila tidak diawali dengan basmalah". Sesuatu pemahaman yang hanya lewat melalui proses pencernaan nalar dan pikiran. Sebuah pemahaman lahiriah.
Dan ketika pria yang selalu tersenyum hangat itu pergi, terasa sekali makna kehilangan itu. Bukan hanya pancingan-pancingan beliau dalam beberapa diskusi. Tetapi, juga pesan inti basmalah yang coba beliau tanamkan sejak dini yang belum aku tangkap penuh. Dan setelah kepergiaan beliau ke haribaan NYA pada tahun 2002, niat untuk kembali mengaji itu menggebu kembali.

Penulis dan mufasir besar negeri ini, Dr. Quraisy Syihab, sangat berjasa menuntun niat. Buku karyanya, "Lentera Hati", menejelaskan uraian-uraian dengan renyah dan indah. Mudah dicerna awam. Mungkin karena itulah, buku itu menjadi sangat disukai orang dan terbukti bestseller di pasaran. Buku itu pula yang memberikan saya energi untuk mengaji kembali.

Kuputuskan untuk mulai dari dasar. Dari basmalah lalu berlanjut ke Surah Alfatihah. Hal itu saya lakukan sambil dengan menyampaikan materi pengajian tiap ba'da subuh di masjid di komplek tempat saya tinggal, tiap Sabtu dan Ahad. Dengan bahan-bahan yang saya siapkan secara tertulis, layaknya model kuliah yang ber SKS. Peserta tetapnya hanya sekitar lima atau enam orang.

Secara rutin selama dua tahun, ngaji surah sepanjang tujuh ayat itu, baru selesai. Dan dari situ, berhasil aku kumpulkan naskah sebanyak empat belas bab. Buku yang sampai hari ini "saya takut" untuk menerbitkan atau menawarkan kepada siapapun. Jika ditanya kenapa? Jawabnya sangat pribadi.

Di pesantren saya dulu, Pesantren Almukmin Ngruki, tentu saya berkesempatan mengaji dan melahap berbagai kitab tafsir. Salah satunya kitab muhtashor Ali As-Shobuni, yang menghimpun pemikiran para ulama tafsir klasik. Jika ditanya apa makna basmalah secara lughowi (bahasa), tentu sudah hafal. Sehafal ketika dulu saya selalu berusaha menyenangkan para ustadz dengan memberikan nilai-nilai mumtaz (istimewa).

Pengalaman ini memberikan saya pelajaran penting: sejauh kemanapun saya pergi, ternyata pada suatu titik kembali lagi pada awal mula saya memulai!

Bismillah...Dengan segala kefakiran saya, ia akan menjadi password yang membuka tabir-tabir gelap hati. Menjadi kunci pembuka pencerahan dan ilmu. Menyelami makna kalam yang terkandung dalam alam semesta.
________________________
KETERANGAN FOTO: Suatu senja di pelabuhan Batam, menjelang maghrib seiring matahari terbenam. Foto diambil dari dek sisi kanan KM Kelud.
Read More...