Friday, March 13, 2009

Musyawarah Tikus

Komunitas tikus geger. Mereka resah dan was-was karena habitat mereka terancam punah.

Seorang ustadz membuka kelas di sore itu dengan mimik serius. Para murid jadi bertanya-tanya. Tidak biasanya sang ustadz yang bersahaja dan banyak senyum itu mengawali pelajarannya dengan sikap seperti itu. Ustadz Sholeh selalu mengawali dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pertemuan sebelumnya.

Kali ini tidak. Para santri yang sudah siap kalau-kalau diminta maju ke depan atau menjawab pertanyaan merasa ada yang janggal.
“Masyarakat tikus sedang dilanda malapetaka...!“

Ahmad, bocah berpostur kurus asal Madiun yang duduk di bangku paling depan itu penasaran.

“Maaf Ustadz, apakah itu ada hubungannya dengan berita tentang tikus di tivi tempo hari ?”, tanyanya spontan.

“Huuuu…”
Dasar anak-anak. Mereka suka menyela komentar temannya.

“Hmm… memang itu ramai dibicarakan di tivi dan koran, dan katanya bikin susah para penjual bakso dan mie ayam. Dagangan mereka ndak laku karena orang jadi jijik, juga takut karena katanya ada ….? ”.

Ucapan ustadz itu terpotong.

“Formalin, Ustdaz !” Celetuk Akbar, anak pengusaha batik asal Solo itu.

“Aiwakh, anta shahiih“. Okey kamu benar.

Suasana kelas menghangat. Para santri begitu ingin tahu berita di luar tembok pesantren mereka.

“Tetapi, sebetulnya bukan soal ulah media yang meniupkan isu tikus-tikus got itu saja yang ternyata membuat sengsara ribuan atau bahkan mungkin jutaan rakyat kecil,” kata sang guru.
Pria setengah baya itu buru-buru melanjukan kalimatnya sebelum muncul pertanyaan dari murid-muridnya yang kritis.

“Dan, sebelum kalian mengerti maksud penjelasan saya, kita lanjutkan pelajaran kita”.
Santri-santri itu hanya menggerutu dalam hati. Suasana yang tadinya hangat menjadi dingin. Tapi apa boleh buat. Perintah ustadz harus diikuti dengan sikap sami’na wa-atho’na – didengar dan ditaati.

Kembali mereka bertanya-tanya, “wah siapa nih yang akan ditunjuk maju ke depan ?”
Sejurus kemudian guru asal Boyolali itu mengeluarkan sebuah buku agak kusam. Dibukalah isinya. Lalu dengan lantang dan nyaring ia bersuara.

Isma’uu… wa’uuu…!” Dengarkan dan perhatikan baik-baik.

Demikian ujar Ustadz dalam bahasa Arab dengan lafal yang sangat fasih.

Ustadz Sholeh menghela napas. Ia pun segera memulai bacaannya dan para santri sudah siap mendengarkan dengan seksama sambil melihat guru mereka memegang kitab “Qiroo’ah Ar-Roosyidah” di tangan kanan. Buku yang memuat khazanah klasik. Berisi bermacam kisah, legenda, atau semacam dongeng.

“Anak-anakku sekalian inilah yang akan kusampaikan”.

Alkisah, menurut sahibul hikayat, sebuah masyarakat tikus sedang dilanda krisis. Populasi mereka kian berkurang setiap hari. Mereka banyak yang tertangkap dan mati. Mereka resah, galau, cemas dan stress karena habitat terancam punah.

“Wah.. banyak diburu tukang bakso ya…?”.

“Dengarkan ustadz sampai selesai. Jangan menyela!” sang ustadz mendelik ke arah Akbar bocah bertubuh subur itu.

Santri pun kembali menyimak bacaan. Tapi kali ini ustadz duduk di kursinya dan menyodorkan buku kepada santri secara bergantian untuk membaca dengan suara keras di depan kelas.
Bacaan dilanjutkan.

Menyadari kepunahan populasi yang drastis, para tokoh tikus dari berbagai wilayah akhirnya berkumpul. Mereka berdiskusi untuk membicarakan strategi demi kelangsungan hidup mereka. Tidak hanya kelangsungan pangan serta akses terhadap lumbung-lumbung yang selama ini mereka satroni. Tetapi juga kelangsungan hidup dan martabat generasi mereka.

Tidak tanggung-tanggung. Para tikus besar yang selama ini dikenal kuat dan sakti sehingga membuat keder para kucing serta sukses mengendus pusat-pusat pangan pun akhirnya berkumpul. Tentu mereka berkumpul di tempat khusus yang hanya para tokoh tikus saja boleh masuk. Di luar ruangan terdapat sejumlah pasukan penjaga tikus yang awas dan sigap bila terjadi sesuatu yang mencurigakan.

“Baiklah saudara-saudaraku. Berpuluh-puluh tahun bahkan berabad-abad, kita telah berhasil mengelabuhi para penjaga lumbung-lumbung makanan sebagai sumber kemakmuran kita. Tapi apa yang kita lihat sekarang? Banyak saudara-saudara kita yang tertangkap. Lorong-lorong rahasia kita banyak yang terbongkar. Karena itu saatnya kita menyusun strategi baru”. Demikian sang tokoh tikus yang sangat disegani itu membuka rapat.

“Betul tuanku. Tetapi memang situasi sekarang sangat genting. Bagaimana kalau kita tiarap dulu, sambil mengamankan aset-aset kita bagi anak cucu?” salah satu tikus berpendapat.

“Rasanya itu bukan solusi. Karena lambat-laun lorong persembunyian kita juga pasti kebongkar”, yang lain menimpali.

Musyawarah para tikus itu semakin panas. Sudah biasa dalam setiap diskusi atau pun rapat banyak sekali gagasan atau ide-ide bermunculan.

Datanglah sesosok tikus berbulu putih berdiri. Postur tubuhnya sedang dan berpenampilan kalem.

“Saudara-saudara sekalian. Situasi sekarang ini disebabkan tak lain karena adanya penjaga kekuasaan lumbung yang sangat galak dan ditakuti. Lebih dari itu dia tidak doyan lagi suap apalagi kita kelabuhi”.

“Hemm... teruskan !” sang pemimpin menyimak serius.

“Jadi perlu ada mekanisme allert, tanda rahasia khusus, sehingga kita semua bisa waspada dan hanya kita saja yang mengerti”, sang tikus itu bersemangat.

“Lalu apa bentuknya ? ” tikus lain bertanya.

“Kita tidak perlu lagi menyuap mereka. Toh para kucing itu sekarang sedang masanya jual mahal, sudah nggak doyan lagi makanan kita. Apalagi makanan murahan”.
Sang tikus memandang seluruh ruangan mencoba melihat reaksi para sahabatnya. Lantas diapun melanjutkan.

“Caranya, kita ikatkan saja kelinting di leher pemimpin para kucing yang galak itu. Maka setiap kali dia bergerak yang diikuti anak buahnya, kelinting akan berbunyi. Kemanapun arah para kucing itu kita akan tahu”, urainya dengan bangga.

“Wah.. ide anda sangat brilian saudara.” Timpal tikus berwarna loreng kecoklatan.
Para hadirin mengangguk-angguk tanda kagum. Yang lain mengepalkan tangan penuh semangat. Sementara di pojok belakang bersorak. Namun tak lama muncul tikus hitam berbulu kaku seperti landak berdiri sambil menggebrak meja. Suasana gaduh jadi hening sejenak.

“Ada masalah yang lebih penting dari ide tersebut”, timpalnya. Tikus ini selain dikenal agresif juga sangat cerdas. Lalu dia melanjutkan kalimatnya.

“Persoalannya adalah ….. Siapa yang berani mengalungkan kelinting itu ?”.

Kini suasana jadi tegang. Para tikus diam. Tidak ada yang bersuara. Masing-masing berpikir dan mununggu kalau-kalau ada yang bisa memberi solusi dari pertanyaan tersebut. Atau barangkali ada seorang tikus yang bersedia mengorbankan diri mengikat kelinting di leher kucing nan galak dan ganas itu.

***

Para santri manggut-manggut. Sementara Ustadz Sholeh memandang wajah para muridnya dengan puas. Mereka begitu antusias.
Man Yu’alliqul Jaros ?” Siapa yang berani mengikatkan kelinting (lonceng)?

Sang guru kembali mengutip judul kisah yang baru saja disimak para muridnya.

“Nah silakan cari jawabannya dan kita bahas pekan depan. Baca berita-berita di koran yang ditempel di papan depan aula”.

Memang di pesantren itu, hanya ada satu koran yang tiap hari dipajang di papan supaya dapat dibaca semua santri sambil berdiri.

Sang guru yang arif itu pun beranjak keluar kelas setelah menutup dengan salam tak lama setelah bel sekolah berdering.

Papan koran yang biasanya tidak begitu menarik, dan hanya satu dua santri senior saja yang baca, sejak sore itu penuh para santri. Mereka membaca judul-judul besar di halaman depan koran itu.

“Seorang jenderal polisi terlibat pembobolan bank”.
“Empat pejabat pajak ditangkap selewengkan Rp 105 miliar uang negara”.
“Mantan menteri tersangkut dana abadi umat”.
“Pengusaha rugikan uang negara 5 triliun”.
“Jaksa terima suap 600 ribu dollar”.
“Seorang anggota DPR ditangkap di hotel berbintang lima”.
“Seorang menteri terlibat suap hutan lindung”.
“Rumah ketua KPK diancam bom”.
“Lagi, empat anggota DPR ditangkap KPK”.

Mereka membaca kalimat-kalimat berita itu dengan polos, tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di balik berita itu. Mereka hanya paham kata-kata ditangkap, ditahan, korupsi, penyelewengan, pencurian uang negara, dan sebagainya. Suatu permasalahan pelik di luar jangkauan pengetahuan mereka.

“Hai.. kholas. Sudah… sudah sebentar lagi maghrib !” seorang santri senior tiba-tiba datang menghardik.

Merekapun buyar.

Tetapi pelajaran sore itu begitu berkesan. Ada satu pertanyaan yang tertinggal: Akankah para tikus itu benar-benar berani dan berhasil mengalungkan kelinting ?

Hanya waktu yang bisa menjawab. Read More...

3 comments:

  1. Hahaha.. Bagus.. Bagus..
    Bagus banget!

    ReplyDelete
  2. Hahaha.. jadi ingat 20 tahun silam. Siapa ustadz yang ngajar ya? Kalo bukan Pak Tamrin, Pak Jamal. Salam silaturahim, Mas.

    ReplyDelete
  3. Syukron ala hudhuurikum. Kalo jaman saya yang ngajar Ustadz Sholeh. Salam juga. Mungkinkan kisah diperluas jadi buku sehingga antum bisa nerbitin??

    ReplyDelete